Pengajar Ilmu Pemerintahan Fisip Universitas Gadjah Mada, AAGN Ari Dwipayana, Kamis (22/11/2012), di Yogyakarta, menilai meratanya pengangkatan pejabat bermasalah di Indonesia, akibat proses rekrutmen birokrat untuk menduduki jabatan strategis sangat tergantung politisi.
Kendati ada Badan Pertimbangan Jabatan dan Kepangkatan (Baperjakat), penentuan pejabat daerah berada di tangan kepala daerah. Apalagi, dalam Undang-Undang 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah, pembina pegawai negeri sipil (PNS/ASN) di daerah adalah kepala daerah (Bupati/Walikota). Sementara kepala daerah tidak memiliki sensitivitas pada persoalan etika pemerintahan.
Atas nama kepentingan politik balas jasa atau dikorbankan, supaya proses hukum tidak merembet kepada kepala daerah, kompensasi berupa jabatan pun diberikan.
Saat ini, menurut Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi, tercatat 474 PNS yang bermasalah dengan hukum dan menduduki jabatan di pemerintahan daerah di 19 provinsi. Mereka berstatus tersangka, terdakwa, dan terpidana.
Jumlah ini akan terus bertambah, sebab masih ada daerah yang belum melaporkan semua PNS bermasalah kepada Kemdagri. Salah satu contoh, di Sumatera Barat terdapat 30 PNS yang bermasalah dengan hukum, tetapi baru dilaporkan dua orang.
Karena itu, Mendagri memperkirakan di seluruh Indonesia, jumlah PNS bermasalah dengan hukum bisa mencapai 1.000 orang. Menurut Ari Dwipayana, diperlukan kerangka regulasi supaya rekrutmen pejabat birokrasi bukan berdasarkan pertimbangan politik. Masalahnya, rencana perbaikan sistem rekrutmen pejabat, baru akan dibahas dalam Rancangan Undang-Undang Aparatur Sipil Negara maupun revisi UU Pokok-Pokok Kepegawaian. Untuk menutup celah pengangkatan pejabat birokrasi ini, diperlukan sistem yang lebih mengutamakan rekam jejak, kompetensi, dan integritas. Salah satunya, pemilihan pejabat bisa dilakukan semacam komisi aparatur sipil negara yang independen untuk menyeleksi dan menentukan calon-calon yang dinilai layak.
Bisa juga seleksi dilakukan tim independen yang terdiri atas akademisi, pejabat pemerintah provinsi, dan pejabat pemerintah kabupaten/kota itu. Setidaknya, uji kelayakan menjadi pembanding dan pengendali supaya penentuan pejabat tidak semaunya. Rekam jejak sebagai mantan terpidana, apalagi kasus korupsi atau penyalahgunaan jabatan lainnya, jelas akan diperhatikan. Penentuan pun tidak semata di tangan kepala daerah.
Pengalihan tugas pembinaan PNS kepada sekretaris daerah, juga dinilai akan memberi ruang untuk mengontrol sistem pengangkatan pejabat. Kekuasaan tidak sepenuhnya berada di tangan kepala daerah.
Kompas
0 Comments